ILMU BUDAYA
DASAR
“PENDIDIKAN KARAKTER DIZAMAN JOKOWI-JK”

Dosen:
Edi Fakhri
Nama:
Nur Fadlia (55415176)
Kelas : 1IA06
FAKULTAS
TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2015
KEMENANGAN pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dalam pemilu
yang lalu tak dapat dilepaskan dari beberapa program terkait pendidikan yang
menarik buat banyak pemilih di Indonesia. Salah satu program menarik Jokowi-JK
di bidang pendidikan adalah pemberlakuan subsidi penuh atas pendidikan sampai
setingkat SMA yang akan dilaksanakan melalui instrumen Kartu Indonesia Pintar.
Pemberlakuan program ini akan membebaskan biaya pendidikan masyarakat secara
penuh (tanpa iuran dan sumbangan apapun) pada jenjang pendidikan dasar hingga
menengah. Selain itu, program pendidikan yang juga menarik perhatian para
pemilih ialah penghapusan sistem Ujian Nasional sebagai standar tunggal dan
universal pengukur keberhasilan pendidikan. Ditambah dengan perumusan kurikulum
baru berbasis budi pekerti dan kewarganegaraan serta peningkatan muatan riset
dan teknologi pada aras pendidikan tinggi, program-program ini menerbitkan
simpati warga dan karenanya punya andil dalam terpilihnya Jokowi-JK pada pemilu
yang lalu.
Persoalan yang kemudian timbul adalah seberapa jauhkah
Jokowi-JK mampu mewujud-nyatakan program pendidikan yang dicanangkannya pada
masa kampanye tersebut. Pertanyaan pentingnya menjadi: tantangan apa saja yang
harus dihadapi Jokowi-JK sehingga agenda kebijakannya terkait pendidikan bisa
terlaksana? Mungkinkah Jokowi-JK menjawab rentetan tantangan tersebut
berdasarkan kerangka acuan yang mereka rumuskan sejauh ini? Jika tidak, dengan
strategi macam apakah tantangan-tantangan tersebut dapat dijembatani? Tantangan-tantangan
dan strategi untuk mengatasinya menjadi dua pokok utama yang akan dipetakan
dalam artikel ini. Namun, sebelum sampai ke situ, kita akan meringkaskan
terlebih dulu agenda kebijakan Jokowi-JK tentang pendidikan.
Pokok-Pokok Kebijakan Pendidikan Jokowi-JK
Pertama-tama, kita perlu menilik kerangka
perundang-undangan terkait pendidikan di Indonesia. Ada dua landasan hukum
paling fundamental yang menjadi acuan perumusan kebijakan terkait pendidikan:
- Pembukaan UUD 1945: Arah tujuan nasional dari Republik Indonesia adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.
- UUD 1945 Pasal 31:
- Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
- Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
- Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.
- Negara memprioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
- Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Undang-Undang Dasar 1945 kita jelas mengatakan bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib
membiayainya. Artinya, menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh rakyat
Indonesia merupakan tugas pemerintah. Dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional juga sudah dinyatakan bahwa alokasi anggaran untuk
pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Namun cita-cita menyelenggarakan
pendidikan nasional yang merata dan bermutu ini masih berbenturan dengan
kenyataan bahwa Indonesia menempati peringkat terendah dalam sistem pendidikan
di dunia (menurut riset pendidikan Pearson 2012).[1]
Selain itu, Indonesia juga menempati posisi rendah dalam hal budaya membaca
buku (terendah di kawasan Asia Timur).[2]
Berdasarkan latar belakang konstitusional dan fakta
empiris tersebut, Jokowi-JK kemudian merumuskan sejumlah misi yang terkait
dengan persoalan pendidikan. Hal itu tercantum dalam dokumen Visi, Misi dan
Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014 (selanjutnya disingkat ‘Visi-Misi’).
Visi umum Jokowi-JK adalah “Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan
berkepribadian berlandaskan gotong royong”. Sementara misi yang agak lebih
spesifik berkenaan dengan pendidikan termuat dalam dokumen Visi-Misi, khususnya
pada butir 4, 5 dan 7 sebagai berikut:
- Butir 4: “Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.”
- Butir 5: “Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing.”
- Butir 7: “Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.”
Apabila diuraikan menjadi misi yang berkaitan langsung
dengan pendidikan, maka terdapat lima misi pendidikan Jokowi-JK:
- Meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan.
- Memperluas keterjangkauan layanan pendidikan.
- Meningkatkan kualitas layanan pendidikan.
- Mewujudkan kesetaraan memperoleh layanan pendidikan.
- Mewujudkan tata kelola
Agenda kebijakan pendidikan Jokowi-JK ini juga
terumuskan secara lebih eksplisit dalam ringkasan agenda pemerintahan Jokowi-JK
yang disingkat sebagai Nawa Cita dan tercantum dalam dokumen Visi-Misi.
Dalam ringkasan tersebut, arah kebijakan terkait pendidikan tertuang dalam
butir 5, 6 dan 8:
- Butir 5: “Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program ‘Indonesia Pintar’ dengan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan”.
- Butir 6: “Meningkatkan produktivitas rakyat dan dayta saing di pasar internasional [dengan] membangun sejumlah Science dan Techno Park di daerah-daerah, politeknik dan SMK-SMK dengan sarana dan prasarana berteknologi maju”.
- Butir 8: “Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kurikulum pendidikan nasional”.
Penjabaran lebih lengkap dari agenda kebijakan
pendidikan Jokowi-JK terdapat dalam rincian 31 agenda strategis yang juga
termuat dalam Dokumen Visi-Misi. Penjabaran ini khususnya tertuang dalam butir
1 dari bagian “Berkepribadian dalam Bidang Kebudayaan” yang bertajuk: “Kami
berkomitmen mewujudkan pendidikan sebagai pembentuk karakter bangsa”. Ada
sepuluh program prioritas terkait pendidikan yang termuat di sini:
- Menata kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, seperti sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti. Ada 70% porsi bahan ajar tentang budi pekerti di tingkat pendidikan dasar. Penambahan bahan ajar ini tidak hanya dilakukan dalam bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), tetapi juga diwujudkan dalam praktik ajar sehari-hari di sekolah.
- Memperjuangkan agar biaya pendidikan terjangkau bagi seluruh warga negara.
- Menghapuskan model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, termasuk penghapusan Ujian Nasional (UN). Sistem Ujian Nasional mesti dihapuskan karena sangat memungkinkan terjadinya kecurangan. Oleh karena itu, kebijakan kelulusan siswa semestinya dikembalikan ke masing-masing sekolah yang bersangkutan sesuai dengan UU Sisdiknas.
- Mengupayakan penyusunan kurikulum yang menjaga keseimbangan antara aspek muatan lokal dan aspek nasional dalam kerangka ke-bhineka-an.
- Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan. Termasuk juga penyediaan buku dan perpustakaan sehingga Indonesia tidak lagi tenggelam dalam ‘budaya nol buku’ atau rendahnya budaya baca.
- Melakukan penerimaan dan penyebaran tenaga pengajar berkualitas secara merata sehingga mempercepat kenaikan jabatan guru honorer menjadi guru tetap.
- Memberikan jaminan hidup yang memadai bagi para guru yang ditugaskan di daerah terpencil, melalui tambahan tunjangan, asuransi, pengembangan keilmuan serta promosi kepangkatan. Perbaikan sistem sertifikasi sehingga pencairan dana sertifikasi dapat diperoleh setiap guru secara rutin dan lebih mudah.
- Mewujudkan pemerataan fasilitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pembangunan sarana transportasi terkait.
- Memperjuangkan UU Wajib Belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya pendidikan dan menghapus segala pungutan.
- Mendorong terwujudnya pendidikan yang berbasis peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Apabila sepuluh program prioritas itu hendak diperas,
maka ada empat program unggulan Jokowi-JK di bidang pendidikan:
- Pendidikan gratis untuk rakyat
- Pembebasan biaya dan pungutan mulai dari tingkat SD sampai SMA
- Perluasan pemberian beasiswa mulai dari jenjang pendidikan D3 hingga S3
- Demokratisasi pendidikan
- Penghapusan Ujian Nasional
- Penyusunan kurikulum pendidikan yang seimbang antara muatan lokal dan nasional
- Pendidikan berkebudayaan
- Pengutamaan pada pendidikan budi pekerti (70%) pada tingkat pendidikan dasar dan pendidikan praktis-politeknik (60%) pada tingkat pendidikan tinggi
- Pelengkapan sarana dan prasarana yang menunjang pendidikan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi
- Penyejahteraan guru
- Peningkatan tunjangan bagi guru di daerah terpencil
- Pemerataan rekrutmen dan distribusi guru
- Penguatan profesi guru dengan pengembangan kompetensi
Akhirnya, keseluruhan visi, misi dan program aksi
Jokowi-JK terkait pendidikan dapat dirangkum secara diagramatik. Keterkaitan
antara visi, misi dan seluruh program Jokowi-JK terkait pendidikan dapat
dijabarkan melalui diagram berikut.
Berdasarkan ringkasan pokok-pokok kebijakan Jokowi-JK
terkait pendidikan ini, kita dapat menggali sejumlah tantangan yang inheren
dalam implementasinya. Kita akan membatasi diri pada tiga bentuk tantangan
saja, yakni terkait subsidi, kurikulum budi pekerti dan demokratisasi standar
pendidikan nasional.
Tantangan Subsidi Pendidikan
Jokowi-JK menjanjikan pemberlakuan subsidi pendidikan
yang komprehensif (bebas pungutan apapun) dan universal (mencakup
seluruh kelompok sosial di semua daerah). Namun skema subsidi semacam itu sudah
diperlakukan sejak Orde Baru, kendati pada rentang pendidikan yang lebih
sempit. Pada kesempatan perayaan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 1984, Suharto,
sebagai presiden kala itu, mencanangkan pemberlakuan program Wajib Belajar 9 Tahun
yang meliputi jenjang pendidikan SD hingga SMP. Program serupa juga terus
diberlakukan hingga era Reformasi dan sampai dengan hari ini. Namun, dari segi
kemenyeluruhan dan keuniversalan, program itu amatlah terbatas. Program
tersebut, misalnya, tidak betul-betul membebaskan biaya pendidikan secara
menyeluruh. Orang tua murid tetap harus membayar biaya buku-buku pelajaran,
iuran kegiatan ekstra-kurikuler dan sebagian mesti membayar uang gedung,
biarpun sudah dipotong subsidi. Selain itu, program Wajib Belajar semacam ini
juga tidak mencakup seluruh sekolah di berbagai provinsi.
Keterbatasan skema subsidi pendidikan yang ada selama
ini dapat kita tinjau dampaknya pada tingkat partisipasi sekolah yang aktual di
Indonesia dan sebarannya di berbagai provinsi. Asumsi yang akan kita gunakan di
sini adalah bahwa skema subsidi pendidikan yang komprehensif dan universal
mesti mencakup juga semua prasyarat partisipasi sekolah peserta didik.
Artinya, rendahnya partisipasi mesti dipandang sebagai fenomena dari kegagalan
dalam ciri komprehensif dan/atau universal skema subsidi terkait. Melalui
survei BPS mengenai indikator pendidikan 2013, kita memperoleh gambaran tentang
tingkat partisipasi sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan dan rentang
usia yang ditargetkan dalam program Wajib Belajar. Kita akan berpatokan pada
Angka Partisipasi Murni (APM) yang diperoleh sebagai rasio jumlah murid yang
bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan rentang usianya terhadap
jumlah penduduk pada rentang usia terkait. Berikut adalah APM dari tingkat SD
hingga Perguruan Tinggi dalam lima tahun terakhir.
Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan Formal,
2009-2013

Melalui data ini, kita memperoleh gambaran bagaimana
partisipasi murni pada jenjang SMP masih jauh dari partisipasi di jenjang SD
dengan selisih sebesar 21,91 persen. Hal lain yang menarik adalah penurunan
partisipasi murni pada jenjang SD dari tahun 2010 ke 2011 sebesar 3,77 persen.
Dua fakta ini menunjukkan bahwa program Wajib Belajar tidak mewujudkan hasil yang
optimal. Betul bahwa tingkat kemenyeluruhan kebijakan subsidi pendidikan dalam
skema Wajib Belajar 9 Tahun tidak sepenuhnya dicerminkan oleh APM. Kendati
begitu, APM tetap merupakan salah satu indikator penting untuk mengevaluasi
ciri komprehensif program Wajib Belajar yang memang menyasar partisipasi pada
jenjang pendidikan terkait rentang usia. Maka, berdasarkan asumsi yang telah
disebut di muka, data APM ini menunjukkan kurang komprehensifnya skema subsidi
pendidikan yang berlaku.
Keterbatasan skema subsidi pendidikan yang ada juga
bisa ditinjau secara empiris dari segi universalitasnya. Tinjauan ini dapat
didasarkan pada data APM per provinsi yang dihasilkan oleh BPS.
APM Pendidikan Formal per Provinsi, 2013

Melalui data ini, kita dapat merekonstruksi selisih
APM yang tertinggi dan terendah antar provinsi di setiap jenjang pendidikan.
Hasilnya adalah sebagai berikut:
- Selisih APM SD: 98,72 (DI Yogyakarta) – 72,90 (Papua) = 25,82%
- Selisih APM SMP: 82,59 (Kepri) – 45,88 (Papua) = 36,71%
- Selisih APM SMA: 67,10 (Bali) – 36,53 (Papua) = 30,57%
Dari selisih ini kita melihat bahwa tingkat selisih
APM tertinggi justru terdapat pada jenjang pendidikan yang merupakan sasaran
dari program Wajib Belajar 9 Tahun, yakni pada jenjang SMP dengan selisih
sebesar 36,71 persen. Hal ini menunjukkan dengan cara yang amat gamblang
bagaimana skema subsidi pendidikan yang ada belum benar-benar universal
cakupannya. Sebab, berdasarkan asumsi kita, skema subsidi pendidikan yang
komprehensif dan universal mesti mencakup juga semua prasyarat partisipasi
sekolah peserta didik, sehingga besarnya selisih APM SMP menunjukkan
kekurang-universalan skema subsidi yang berlaku.
Dengan demikian, dapat disimpulkan berdasarkan agenda
kebijakan pendidikan Jokowi-JK dan kenyataan partisipasi sekolah di Indonesia,
maka tantangan agenda subsidi pendidikan Jokowi-JK terletak pada persoalan
universalitas dan kemenyeluruhan skema subsidi yang akan diterapkan. Seberapa
jauhkah Jokowi-JK akan mendorong realisasi Kartu Indonesia Pintar hingga
betul-betul berciri komprehensif dan universal—itulah tantangan utama
pemerintahan Jokowi-JK dalam hal subsidi pendidikan.
Tantangan Kurikulum Budi Pekerti dan Kewarganegaraan
Dari segi kurikulum, Jokowi-JK menawarkan penekanan
pada pendidikan karakter lewat pelajaran budi pekerti dan kewarganegaraan.
Kedua elemen pembelajaran itu akan meresapi keseluruhan kurikulum pendidikan
dasar hingga menengah. Dalam dokumen Visi-Misi dinyatakan bahwa pendidikan
karakter memiliki porsi tak kurang dari 70 persen dari total materi yang
diajarkan dari SD hingga SMA. Seperti halnya kebijakan subsidi pendidikan,
penekanan pada pendidikan karakter juga bukan hal baru dalam sejarah
perkembangan kurikulum di Indonesia. Kita dapat mempelajari riwayat perubahan
paradigma penyusunan kurikulum, distribusi mata pelajaran (mapel) dan peran
pendidikan karakter di dalamnya melalui tabel yang disarikan dari materi Dikti
berikut.
Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia, 1947-2013

Dalam tabel di muka, dapat kita saksikan bahwa
penekanan pada pendidikan karakter bukanlah hal yang baru dalam sejarah
perkembangan kurikulum di Indonesia. Paradigma seperti itu bahkan sudah muncul
sejak disahkannya kurikulum pertama Republik Indonesia di tahun 1947. Dapat
kita amati bahwa memang terdapat tren penurunan dalam penekanan character
building itu sejak jatuhnya Sukarno dan naiknya Orde Baru. Konsolidasi
rezim Orde Baru menghasilkan dua dampak pada kurikulum pendidikan nasional:
penekanan pada pendidikan kognitif alih-alih karakter dan penciutan atas
pendidikan karakter pada pendidikan moral Pancasila yang sarat ideologi Orde Baru.
Tren menguatnya penekanan pada pendidikan karakter kita jumpai kembali pada era
Reformasi, yakni sejak Kurikulum 2004. Namun fokus pada character building ini
cenderung ke arah distopia dalam Kurikulum 2013. Dalam Kurikulum 2013, sikap
dan penghayatan religius siswa dimasukkan sebagai bagian dari komponen
penilaian. Artinya, siswa yang luar biasa pandai dalam mata pelajaran fisika
tetapi kurang menghayati agama, bisa saja dinyatakan tidak tuntas dalam mata
pelajaran fisika.
Tantangan kebijakan pendidikan Jokowi-JK di aras
kurikulum bersumber dari pengalaman penerapan kurikulum yang ada sejauh ini.
Ringkasnya, apa yang mesti dilakukan pemerintahan Jokowi-JK ialah mewujudkan
sintesis baru antara pendidikan karakter dan kognitif. Dalam hal ini, ada dua
kecenderungan historis yang berlawanan secara diametral dan keduanya mesti
dielakkan:
- Kecenderungan pedagogi Orba yang berpusat pada aspek teknis-kognitif dan menciutkan permasalahan karakter pada ideologi Pancasila yang telah difabrikasi oleh rezim Suharto.
- Kecenderungan pedagogi ultra-moralis khas Reformasi, khususnya Kurikulum 2013, yang berpusat pada pendidikan karakter yang telah diciutkan menjadi perkara agama dan dipaksakan secara tidak selaras sebagai kriteria evaluasi mapel-mapel yang sebetulnya tak berhubungan dengan agama.
Keduanya hanya dapat dihindarkan apabila pemerintahan
Jokowi-JK berhasil merumuskan kembali gagasan tentang pendidikan karakter
secara lebih selaras dengan pendidikan kognitif.
Salah satu solusi penyelerasan itu ialah penggunaan bingkai
pendidikan humaniora. Di sini, ide tentang pendidikan karakter mesti
dikontekskan ke dalam materi yang memang dipelajari di sekolah. Salah satu
mapel yang paling cocok untuk menyemai fondasi karakter adalah mapel-mapel
bahasa. Apabila pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris (serta bahasa-bahasa
daerah dan asing lain yang diajarkan) dapat dirombak dengan memberikan porsi
yang amat besar pada kesusastraan, maka hal itu akan menjadi ladang
persemaian karakter yang selaras dengan alur pengajaran di sekolah. Dengan
mempelajari karya-karya sastra, baik lokal maupun dunia, para siswa akan
digerakkan dari dalam hatinya sendiri untuk mengambil sikap dan mengasah
intuisi etisnya. Friedrich Schiller mengatakan, dalam Letters on the
Aesthetic Education of Mankind (1794), bahwa pendidikan estetis adalah
kunci bagi kebijaksanaan dan kemawasan di setiap cabang kehidupan, termasuk
politik. Jadi solusi atas dilema pendidikan karakter dalam kurikulum kita ialah
perluasan mapel bahasa menjadi mapel kesusastraan dan penambahan
alokasi waktu bagi mapel kesusastraan tersebut. Jika Jokowi-JK berkomitmen
untuk menjadikan pendidikan budi pekerti menempati porsi 70 persen dari materi
pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah, maka hal itu dapat dilakukan
dengan mengintegrasikannya ke dalam pendidikan kesusastraan. Solusi di muka
mesti dibarengi dengan transformasi daya kognitif agar tak berhenti sebatas
pemerolehan pengetahuan teknis-instrumental, tetapi juga kritis-reflektif. Hal
ini dapat dilakukan dengan pelajaran filsafat di jenjang menengah, seperti
halnya diberlakukan dalam lembaga pendidikan menengah atas di Jerman (Gymnasium)
dan Prancis (lycée). Pelajaran filsafat akan mengolah intuisi etis yang
telah terasah dalam pendidikan kesusastraan sejak SD dan membuat siswa mampu
mengartikulasikan sikapnya secara kritis dan sistematis melalui argumen yang
masuk akal dan dapat diperdebatkan. Singkatnya, kunci dari dikotomi antara
pendidikan karakter dan kognitif terletak pada perluasan pengajaran sastra di
tingkat SD dan pengajaran filsafat di tingkat SMA.
Tantangan Demokratisasi Standar Pendidikan Nasional
Tolok ukur penilaian pendidikan kita selama ini sudah
mengalami penyeragaman, seakan-akan tingkat kecerdasan siswa di kota besar dan
pelosok Nusantara dapat diukur berdasarkan satu standar yang sama. Contoh
paling terang dari penyeragaman itu ialah diberlakukannya sistem Ujian Nasional
yang seragam di seluruh Indonesia. Penyeragaman semacam ini mengabaikan
perbedaan konteks pendidikan murid di tiap daerah. Padahal belum tentu sarana
pendidikan yang sama terpenuhi di setiap tempat secara setara. Terjadi uneven
development dalam praktik pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. Angka
Partisipasi Murni antar provinsi yang sudah dibahas tadi merupakan salah satu
ilustrasinya. Jokowi-JK melihat bahwa hal ini keliru. Tidak semestinya
masyarakat Indonesia yang berbeda-beda situasinya itu diharuskan menjalani
proses pendidikan yang sama persis. Untuk itu, Jokowi-JK akan memberikan ruang
kemerdekaan yang lebih luas bagi sekolah di tiap daerah untuk mengembangkan
sistem pengajarannya. Materi yang berasal dari muatan lokal dan nasional akan
diberikan porsi yang seimbang. Sistem Ujian Nasional yang seragam akan
dihapuskan dan digantikan dengan sistem penilaian yang lebih demokratis, yang memerdekakan
setiap sekolah untuk merancang mekanisme penilaiannya dalam dialog yang setara
dengan kementrian pendidikan dan kebudayaan.
Namun penghapusan Ujian Nasional menghadirkan
tantangan tersendiri. Wacana soal ini tidak hanya beredar dalam kampanye Jokowi-JK.
Komisi X DPR juga sudah memulai pembicaraan tentang kemungkinan penghapusan
Ujian Nasional di tingkat SD dan SMP.[3]
Namun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempersoalkan lenyapnya standar
pendidikan di Indonesia apabila sistem Ujian Nasional dihapuskan.[4]
Gugatan soal standar pendidikan ini menjadi argumen umum yang lazim dilontarkan
untuk menolak penghapusan Ujian Nasional. Dalam Peraturan Menteri No. 20 Tahun
2007 memang dinyatakan bahwa salah satu fungsi Ujian Nasional adalah sebagai
instrumen untuk menilai pencapaian pencapaian Standar Nasional Pendidikan.
Artinya, tantangan kebijakan penghapusan Ujian Nasional adalah menyediakan
standar pengganti yang lebih sesuai. Kita tak mungkin menolak ide tentang
standar pendidikan sebab standar semacam itu perlu untuk mengukur capaian proses
belajar-mengajar dan sebagai alat bantu untuk menyesuaikan proses pendidikan
agar tercapai target yang diinginkan. Apa yang mungkin ditolak ialah cakupan
nasional dari Ujian Nasional tersebut, sebab di situlah letak akar
permasalahannya. Uneven development dalam praktik pendidikan di tiap
daerah memustahilkan penggunaan standar yang efektif dan universal dalam
mengukur capaian pendidikan. Jadi standarisasi pendidikan tetap perlu
dilakukan, tetapi tidak pada aras nasional, melainkan disesuaikan dengan kondisi
konkrit di daerah. Apa yang kita perlukan bukanlah Ujian Nasional melainkan
Ujian Daerah. Ini adalah salah satu solusi yang mungkin untuk menjembatani
tuntutan penghapusan Ujian Nasional dan tuntutan bagi adanya standar
pendidikan.
***
Dengan demikian, terdapat tiga tantangan besar
terhadap perwujudan kebijakan Jokowi-JK terkait pendidikan:
- Tantangan subsidi pendidikan
- Tantangan pendidikan budi pekerti dan kewarganegaraan
- Tantangan demokratisasi standar pendidikan nasional
Secara lebih konkrit, ketiga tantangan tersebut dapat
diuraikan ke dalam rumusan yang sekaligus menyimpan solusi terhadapnya.
- Rendahnya Angka Partisipasi Murni pendidikan formal dan tidak meratanya angka tersebut antar provinsi menunjukkan bahwa skema subsidi pendidikan mesti berwatak komprehensif (pembebasan semua biaya) sekaligus universal (mencakup semua warga negara).
- Terbentangnya jurang antara pendidikan karakter dan kognitif dapat dijembatani lewat pendidikan kesusastraan di tingkat SD hingga SMA dan filsafat di tingkat SMA. Hanya dengan cara itulah poros ekstrem antara ultra-moralisme Kurikulum 2013 dan pedagogi teknis-ideologis Orde Baru dapat dihindarkan.
- Penghapusan Ujian Nasional tidak boleh disertai dengan penghapusan standar pendidikan apapun, melainkan mesti ditransformasi ke dalam Ujian Daerah yang mengakomodasi kondisi uneven development pendidikan di tiap daerah.
Ketiga tantangan inilah yang mengemuka di hadapan
Jokowi-JK. Solusi atas ketiganya sudah terkandung di dalam permasalahan itu
sendiri. Tak ada hambatan teknis apapun yang dapat menghalangi Jokowi-JK
mengambil ketiga solusi tersebut. Republik ini tidak kekurangan suatu apapun
untuk menempuh jalan keluar itu. Yang menentukan hanyalah perkara konsistensi
pilihan politik Jokowi-JK pada revolusi mental.***
———
[1] Lih. http://thelearningcurve.pearson.com/reports/the-learning-curve-report-2012/towards-an-index-of-education-outputs.
Bdk. laporan Kompas: http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/27/15112050/Sistem.Pendidikan.Indonesia.Terendah.di.Dunia.
Diunduh pada 4 September 2014.
[2] http://oase.kompas.com/read/2009/06/18/02590466/budaya.baca.indonesia.terendah.di.asia.timur.
Diunduh pada 4 September 2014.
[3] http://www.antaranews.com/berita/432746/dpr-akan-wacanakan-penghapusan-un-sd-dan-smp.
Diunduh pada 5 September 2014.
[4] Lih. http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/22/3/148631/Kemendikbud-Tolak-Penghapusan-UN-
& http://harnas.co/2014/06/23/kemendikbud-penghapusan-un-perlu-dikaji-ulang.
Diunduh pada 5 September 2014.
0 komentar:
Posting Komentar